Refleksi HUT ke-729 Majapahit: Majapahit Yang Agung Riwayatmu Kini
August 18, 2023GKKN – TGIA-21: Solusi Komprehensif Menuju Indonesia (Kembali) Menjadi Mercusuar Dunia
Kilas Balik Sejarah Nusantara
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang secara historis maupun genealogis penerus dan pewaris DNA bangsa besar, yaitu bangsa Nusantara (baca: Sriwijaya/ Majapahit). Menurut Afrikanis Universitas London, Robert Dick-Read dalam bukunya “The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times”, nenek moyang bangsa Indonesia memiliki tradisi kelautan yang sangat kuat dan mengakar. Selain Pulau Paskah (Easter Island) di Samudra Pasifik Selatan, jejak peradaban Nusantara juga terlacak di Madagaskar hingga Mediterania. Bukti-bukti autentik ilmuwan Inggris tersebut memperkuat teori bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun lalu leluhur Nusantara terbiasa mengarungi samudra. Artinya, jauh sebelum Cheng Ho awal abad ke-15 dan Christopher Columbus 71 tahun kemudian menorehkan sejarah paling fenomenal, para pelaut Nusantara telah lebih dahulu menaklukkan sepertiga bola dunia. Itulah catatan kegemilangan sejarah yang menginspirasi komponis besar Ibu Soed menciptakan lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” yang legendaris tahun 1940.
Jauh sebelum periode Sriwijaya dan Majapahit, beberapa literatur menyebut nama Lemuria dan Atlantis. Dua bangsa yang kehebatannya kerap menarik perhatian para ilmuwan. Salah satunya Augustus Le Plongeon. Menurut arkeolog kebangsaan Inggris/Amerika tersebut, peradaban Lemuria diperkirakan antara 75000-11000 SM. Artinya, Lemurian (bangsa Lemuria) lebih tua dari Atlantean (bangsa Atlantis), tetapi keduanya pernah hidup berdampingan dalam satu dimensi ruang dan waktu tertentu, sebelum gempa bumi hebat dan gelombang laut dahsyat akhirnya menenggelamkan mereka. Berbeda dengan Atlantean yang cenderung menekankan unsur fisik dan gemar berperang, Lemurian lebih menekankan aspek spiritual dan cenderung menyukai hidup tenang dan damai. Tingginya peradaban Lemurian digambarkan dengan kemampuannya menjelajahi ruang angkasa. Sementara Arysio Santos dalam bukunya “Atlantis: The Lost Continent Finally Found”, meyakini Benua Atlantis yang hilang adalah Nusantara. Penelitian fisikawan nuklir dan ahli geologi asal Brasil tersebut memperkuat pemikiran yang sama sejak tesis tentang Benua Atlantis diungkapkan filsuf besar Plato (427-347 SM).
Apabila “Ekpedisi Pamalayu” (1275) dan “Ekspedisi Pabali” (1284)–kebijakan politik Kertanegara–merupakan gagasan penyatuan Nusantara jilid I maka jilid II-nya adalah “Sumpah Palapa”. 21 tahun setelah program politik Nusantara tersebut berjalan, tahun 1357 Gajah Mada amukti palapa (istirahat). Mission accomplished. Artinya, gagasan penyatuan Nusantara jilid II selesai. Itulah periode puncak kejayaan yang berlangsung hingga masa pemerintahan Hayam Wuruk. Kepergian sang mahapatih tahun 1364, membuat Majapahit praktis bak singa ompong. Majapahit berangsur-angsur surut dan runtuh. Kehancuran Majapahit meninggalkan lima legasi agung: 1) “rumah besar” bernama Indonesia, 2) dwiwarna “Merah–Putih” dan berbagai ajaran adiluhung lainnya, 3) semboyan “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”, 4) lencana perang TNI AL, dan 5) simbol/ moto yang masih banyak digunakan di lingkungan pemerintahan/ lembaga negara dan TNI/ Polri hingga kini.
Runtuhnya Majapahit danImplikasinya
Konstelasi geopolitik dunia akhir abad pertengahan diwarnai kompetisi tiga kekuatan utama (major power), yaitu Majapahit (selatan), Cina Yuan/ Ming (utara), dan Turki Utsmani (barat). Ditopang kekuatan ekonomi dan militernya yang masif, kompetisi ketiga kekuatan berlangsung berabad-abad. Posisi geografis Majapahit yang berada tepat di jalur perlintasan strategis–Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Karimata, Selat Makassar–dan kaya akan rempah-rempah membuat Majapahit menjadi incaran atau target penguasaan rival-rivalnya.
Sejak berdirinya tanggal 12 November 1293, Majapahit tidak pernah sepi dari intrik dan pergolakan. Pemicunya beragam dan kompleks, mulai konflik internal yang kerap berujung pemberontakan, suasana saling curiga akibat terbunuhnya Kertanegara hingga kekhawatiran serangan balas hegemon utara atas hancurnya Pasukan Tartar. Barulah memasuki masa pemerintahan Tribuwanatunggadewi, seiring pula munculnya Gajah Mada ke panggung politik nasional, perlahan Majapahit bangkit.
Dengan kepemimpinannya yang visioner ditopang pilar ekonominya yang kuat, armada Majapahit dibangun. Armada niaga diperbesar untuk menjamin perdagangan antarpulau/antarnegara terus berkembang. Armada militer diperkuat untuk memastikan jalur-jalur perdagangan bebas gangguan dan Majapahit tetap aman. Demikianlah seiring perjalanan waktu, Majapahit makin besar dan kuat. Namun demikian konstelasi geografis Nusantara yang terdiri dari ribuan pulau masih terserak.
Hingga tiba saatnya Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang menggemparkan “Sumpah Palapa” pada sesi pelantikannya sebagai Patih Amangku Bumi tahun 1336. Konon bumi bergetar dan langit bergermuruh ketika Gajah Mada mengucapkan sumpahnya di hadapan sang rani Tribuwanatunggadewi di Panangkilan. Sejak itu kebangkitan Majapahit tak terbendung. Pada puncak kejayaannya, pengaruh Majapahit terbentang luas dari pesisir Afrika Timur, Asia Tenggara hingga Samudra Pasifik Selatan. Indochina yang sejak era Kertanegara dirancang menjadi daerah pengaruh (vassal area)–semacam negara satelit–dipertahankan sebagai “buffer zone” untuk meredam agresivitas hegemon utara.
Mangkatnya Gajah Mada menyusul Hayam Wuruk 25 tahun kemudian membuat cahaya Majapahit terus meredup. Intrik dan pergolakan kembali marak. Terparah Perang Paregreg (1404-1406) yang bukan saja memudarkan aura kebesaran tetapi juga merontokkan seluruh sendi-sendi kehidupan. Mulailah berbagai anasir asing masuk. Hegemon barat dengan ekspedisi politiknya berlabel ajaran baru. Jawa menjadi target utama karena Jawalah center of gravity Nusantara. Sementara “Nan Yang Connection” oleh hegemon utara dikamuflase layaknya safari budaya. Tahun 1478 Majapahit pun tamat. Habis terang datanglah gelap. Tamu-tamu lain yang tak diundang pun berdatangan. Berturut-turut: Portugis (1511), Spanyol (1521), Inggris (1579), Belanda (1596), dan Jepang (1942). Itulah periode paling kelam dan memalukan dalam lembaran sejarah Nusantara yang dampaknya masih sangat terasa. Bukti hancurnya Majapahit implikasinya sangat luar biasa.
78Tahun IndonesiaMerdeka: Harapan dan Fakta
Berdasar cakupan luasnya wilayah, besarnya pengaruh, dan karya-karya agung yang ditorehkan, periodisasi sejarah Nusantara dibagi tiga, yaitu era negara Nusantara I (Sriwijaya), Nusantara II (Majapahit), dan Nusantara III (NKRI). Kita patut berbangga karena Nusantara I dan Nusantara II pernah mengukir sejarah mencapai status negara adidaya pada zamannya. Sementara setengah milenium kemudian, dalam periode waktu yang sama, kita, anak cucunya, Nusantara III masih berkutat pada persoalan seputar identitas dan jati diri–ideologi, toleransi, korupsi–tiada henti. Persoalan klasik yang semestinya selesai akhir dekade 1950-an atau setelah program “Revolusi Mental” Sukarno digulirkan. Padahal Majapahit hanya butuh waktu relatif sama, yakni 75 tahun–merujuk masa pemerintahan Hayam Wuruk–untuk menggapai puncak kejayaan. Artinya, ada yang salah dalam cara bangsa ini mengelola negara. Nah, setelah 78 tahun merdeka, inilah saat yang tepat bangsa Indonesia retrospeksi.
Sebagai benchmark, berikut catatan kritisnya: masih menjadi negara terkorup di kelompok G-20 (Transparency International 2021), angka kemiskinan masih tinggi (BPS 2021), indeks daya saing sumber daya manusia masih rendah (World Economic Forum 2019), pengembangan riset dan inovasi masih tertinggal (Global Innovation Index 2020). Benar, tanggal 17 Agustus 1945 tentara dan birokrat Belanda/Jepang telah pergi. Sehingga secara fisik atau badan dikatakan bangsa Indonesia telah merdeka. Bagaimana dengan nonfisik atau jiwanya? Benarkah hati dan pikiran manusia Indonesia telah merdeka, terbebas dari belenggu dogma-dogma?
Hancurnya Majapahit juga memberi kita pelajaran sangat penting dan berharga. Bahwa sekuat dan sedigdaya apapun suatu negara bisa runtuh juga. Bukti persatuan sangat sentral dalam membangun kohesivitas bangsa demi tercapainya cita-cita bersama. Bagaimana dengan Indonesia? Akankah kita selamat atau mengalami nasib serupa? Itulah sebabnya sebelum merdeka para pendiri bangsa telah menyiapkan berbagai perangkat antisipasinya. Contoh Pancasila, lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang semua menyeru pentingnya persatuan bangsa. Bagaimana faktanya? Alih-alih bersatu, holopis kuntul baris. Berbagai konflik vertikal/horizontal justru tidak pernah sepi sejak proklamasi berkumandang. Masuknya doktrin, ajaran, dan ideologi transnasional seiring terbukanya keran kebebasan pasca-reformasi, membuat anatomi konflik makin kompleks dan beragam. Antara lain konflik sektarian berlatar belakang SARA dan aksi terorisme berbasis agama. Tidak aneh, sepanjang merdeka, merujuk sumber data Labkurtannas Lemhannas RI, ketahanan nasional Indonesia kondisinya kurang tangguh alias memprihatinkan.
Sebagai dasar negara (staatsfundamentalnorm), ideologi negara (philosophische grondslag), dan pandangan hidup bangsa (way of life), Pancasila adalah final. Artinya fungsi, peran, dan kedudukan Pancasila telah disepakati para pendiri bangsa atau telah menjadi konsensus nasional yang tidak bisa diganggu gugat lagi. Tetapi faktanya masih ada saja pihak-pihak yang secara terselubung maupun terang-terangan ingin mengganggu, melemahkan, bahkan mengganti. Ironisnya salah satunya lembaga tinggi negara sendiri yang harusnya menjaga dan melindungi. Miris!
Demikian pula UUD NRI 1945 yang setelah empat kali amandemen, kini sudah tidak senafas lagi dengan Pancasila. Karena cukup banyak ditemukan inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antarpasal dan ayatnya. Akibatnya, negara terjebak pada praktik kekuasaan oligarki. Pengelolaan negara lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum, tetapi menafikan pembangunan kesejahteraan rakyat yang harusnya menjadi tujuan utama.
SolusiKomprehensif
Seperti di awal telah diuraikan, catatan kebesaran sejarah Nusantara sejatinya telah dimulai sejak peradaban Lemuria dan Atlantis mulai terungkap, walaupun masih misteri. Tidak sedikit riset dan kajian ilmiah mengarah pada kebenaran teori kehidupan mereka di masa lampau. Contohnya buku-buku karya para ilmuwan, seperti Robert Dick-Read (Inggris), Augustus Le Plongeon (Inggris/ Amerika), Arysio Santos (Brasil), Danny Hilman (Indonesia), Slamet Muljana (Indonesia). Jejak tingginya peradaban leluhur baru mulai menemukan titik terang setelah memasuki periode Nusantara dengan ditemukannya bukti-bukti autentik, seperti artefak, kronik sejarah, dan berbagai karya agung yang ditinggalkan.
Rangkaian catatan gemilang selama ribuan tahun itu adalah bukti Nusantara adalah pusat gravitasi (center of gravity) peradaban dunia. Sebagai visi geopolitik Indonesia abad ke-21, “Poros Maritim Dunia” tidak bisa dilepaskan dari cetak biru (blueprint) spirit kebesaran yang secara intrinsik melekat dalam diri bangsa Nusantara. Sayang, “Poros Maritim Dunia” yang pada masa-masa awal peluncurannya (2014-2016) begitu menggelegar kini nyaris tak terdengar.
Karut-marutnya kondisi bangsa pasca-runtuhnya Majapahit hingga kini kita (baca: bangsa Indonesia) menjadi bangsa pecundang (good loser), inferior, dan bulan-bulanan bangsa asing tentu menimbulkan keprihatinan mendalam kita bersama. Oleh karena itu, sebagai anak bangsa yang memiliki tanggung jawab moral akan keselamatan bangsa, kami menawarkan solusi komprehensif, yaitu secara kultural “Gerakan Kembali ke Nusantara” dan secara akademik “Trilogi Geopolitik Indonesia Abad ke–21″.
Gerakan Kembali ke Nusantara
Keinginan kembali ke Nusantara bukan tanpa sebab, tetapi dipicu keprihatinan mendalam akan karut-marutnya kondisi bangsa selama berabad-abad pasca-runtuhnya Majapahit. Kuatnya keinginan terkristalisasi menjadi sebuah gerakan, bernama “Gerakan Kembali ke Nusantara” disingkat GKKN. Oleh karena itu, GKKN bisa diartikan sebagai gerakan moral berbasis budaya untuk mendorong tumbuhnya kembali orisinalitas karakter dan tradisi sebagai bangsa besar (baca: superior) agar Indonesia bangkit dan kembali menjadi mercusuar dunia. GKKN bersifat terbuka, inklusif, dan non-partisan.
Definisi tersebut memastikan GKKN tidak berniat ingin mendorong Indonesia kembali ke sistem lama. Bagaimanapun Pasal 1 ayat 1 UUD NRI 1945 bahwa “negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik” bersifat einmalig alias final. Subtansi persoalan bukan pada bentuk negara atau sistem pemerintahan, melainkan lebih pada penekanan spirit kebesarannya. Karena tanpa spirit kebesaran–apapun bentuk negara atau sistem pemerintahanya–bangsa Indonesia tidak akan mampu bangkit, maju, dan meraih cita-cita. GKKN termanifestasi dalam sembilan konfigurasi jalan pencapaian (J), yaitu:
J-1. Kembali ke kesejatian Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara yang setiap silanya dipahami, dihayati, dan dipraktikkan sebagaimana seharusnya; dan UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusional yang dipedomani sedemikian rupa sehingga gerak dan arah pembangunan tidak bias dari harapan para pendiri bangsa dan cita-cita seluruh bangsa.
J-2. Kembali ke jati diri sebagai penerus dan pewaris DNA bangsa besar yang memiliki kesadaran, dilandasi ketulusan ingin menghargai karya, menghormati pemikiran, meneladani ajaran, serta memiliki kepedulian dan komitmen tinggi untuk menjaga lestarinya warisan budaya adiluhung Nusantara.
J-3. Kembali ke orisinalitas cetak biru (blueprint) bangsa Nusantara sebagai pusat gravitasi (center of gravity) peradaban dunia. Bukan sekadar pinggiran atau periferinya.
J-4. Kembali ke tradisi dan karakter sesuai cetak biru bangsa Nusantara sebagai kiblat dunia (normsetter) atau penjuru dunia (trendsetter). Bukan sekadar peniru (copier) atau pembebek (follower) bangsa lain secara membabi buta.
J-5. Kembali ke autentisitas paradigma berpikir (mindset) sebagai bangsa besar berperadaban tinggi yang memiliki pemikiran tidak biasa (out of the box) dan gagasan atau imajinasi di luar batas (beyond the limits).
J-6. Kembali ke kesejatian sifat dan karakter sebagai penerus dan pewaris DNA bangsa besar–Lemuria – Atlantis – Nusantara–yang visioner atau pandangan jauh ke depan.
J-7. Kembali ke kesejatian sifat dan karakter sebagai penerus dan pewaris DNA bangsa besar–Lemuria – Atlantis – Nusantara–yang gagah berani, pantang menyerah, dan gemar berpetualang mengarungi samudra/ menjelajah ruang angkasa.
J-8. Kembali ke orisinalitas cetak biru (blueprint) sebagai bangsa maritim yang meyakini laut adalah masa depan dan di laut tersimpan harapan.
J-9. Kembali ke keagungan budaya Nusantara yang memiliki watak dan tradisi unik sebagai bangsa besar berperadaban tinggi yang sekuler-spiritualis. Artinya mampu melihat, mengenal, dan memahami Tuhan dengan banyak cara/jalan. Agama salah satunya.
Sudah bukan rahasia kalau hari ini kita sudah tidak menjadi kita. Itulah kenapa kita harus segera “Kembali ke Nusantara”. Sebelum semua menjadi terlambat. “Kembali ke Nusantara” artinya kembali menjadi diri sendiri sesuai jati diri. Kembali menjadi kita. Tidak lagi menjadi mereka. “Kembali ke Nusantara” artinya kembali ke prinsip dasar bangsa merdeka 100 persen: dari kita – oleh kita – untuk kita. “Kembali ke Nusantara” artinya kembali sesuai DNA atau cetak biru biru kita sebagai bangsa besar. Bangsa dengan pikiran-pikiran besar. Bangsa dengan gagasan-gagasan besar. Bangsa dengan lompatan-lompatan besar.
Trilogi Geopolitik Indonesia Abad ke–21
Lahirnya gagasan “Trilogi Geopolitik Indonesia Abad ke-21″ disingkat TGIA-21 dipicu beberapa faktor. Pertama, pidato Bung Hatta yang monumental, berjudul “Mendayung di Antara Dua Karang” di Yogyakarta tahun 1948. Kedua, perkembangan lingkungan strategis yang sangat fluktuatif dan penuh ketidakpastian. Ketiga, kebijakan “Poros Maritim Dunia” yang sejatinya merupakan visi geopolitik Indonesia. Keempat, Indonesia adalah negara besar dengan segudang keunggulan komparatif. Kelima, sebagai penerus dan pewaris DNA bangsa besar, Indonesia perlu memainkan peran yang lebih dominan di panggung internasional. Itulah sebabnya konsep TGIA-21 disusun sedemikian rupa dengan titik berat pada pembangunan kapasitas Indonesia sebagai penyeimbang (strategic balancer). Oleh karena itu, postur Indonesia yang stabil secara politik, kuat secara ekonomi, dan tangguh secara militer menjadi keharusan. Bukan pilihan.
Kebangkitan Cina yang terbukti mengusik status quo global dan sebaliknya selaku hegemon global Amerika Serikat terus berusaha mempertahankannya, mengharuskan Indonesia bangkit dan tampil ke garis depan untuk melakoni peran sebagai penyeimbang. Oleh karenha itu, secara paralel Indonesia perlu segera melakukan konsolidasi internal untuk menciptakan stabilitas politik, meningkatkan pembangunan ekonomi, dan memperkuat otot militer. Di sinilah konsep TGIA–21 guna menciptakan keseimbangan (dynamic equilibrium) dalam rangka menciptakan tata dunia baru yang stabil, aman, dan sejahtera menjadi sangat penting dan imperatif.
Gagasan TGIA-21 telah dan sedang kami tuangkan dalam tiga seri buku bertajuk “Trilogi Geopolitik Indonesia Abad ke–21“. Sesuai namanya, TGIA-21 terdiri dari tiga buku yang saling terkait, yaitu “Arungi Samudra bersama Sang Naga” (buku-1), “Indonesia Inc.“ (buku-2), dan “Songsong Badai bersama El Condor Pasa” (buku-3). Sebagai catatan, buku-1 dan buku-2 telah terbit dan beredar, sementara buku-3 masih dalam proses penyelesaian.
#saveindonesia
#kembalikenusantara
DIRGAHAYU KE-78 RI
* Tentang Penulis:
Purnawirawan Pati TNI/Ketua Wanhat “Madyantara Ring Majapahit”
Anggota Wanhat DPD IKAL Jatim/Anggota IKAL Strategic Center
Ex IDSR Chairman/Alumnus Seskoau 1998/Alumnus Sesko TNI 2003
Alumnus US Naval War College 2009/Alumnus GCMC US Eurocom, Germany 2011/Alumnus PPSA XX/2015 Lemhanas RI