Dengan Pendekatan Budaya Kita Ciptakan Persahabatan Dan Persatuan Bangsa Menjadi Cahaya Bagi Perdamaian Dunia
August 15, 2023Refleksi HUT ke 78 Kemerdekaan Republik Indonesia
August 18, 2023Refleksi HUT ke-729 Majapahit: Majapahit Yang Agung Riwayatmu Kini
Oleh: Untung Suropati/”Madyantara Ring Majapahit” *)
Kompetisi Tiga “Singa”
Konstelasi geopolitik dunia abad ke-13 hingga ke-15 diwarnai kompetisi tiga “Singa” di belahan bumi yang berbeda, yaitu Majapahit (selatan), Tiongkok Yuan/ Ming (utara), dan Turki Utsmani (barat). Ditopang kekuatan ekonomi dan militernya yang masif, kompetisi tiga adidaya berlangsung berabad-abad. Posisi geografis Majapahit yang tepat berada di jalur perlintasan strategis – Selat Malaka/ Selat Sunda – dan kaya akan rempah membuat “Singa Selatan” menjadi incaran para kompetitornya dari utara dan barat.
Sejak awal berdirinya tanggal 12 November 1293, Majapahit tidak pernah sepi dari intrik dan pergolakan. Pemicunya sangat kompleks, mulai konflik internal yang kerap berujung pemberontakan, suasana saling curiga buntut terbunuhnya Kertanegara hingga kekhawatiran serangan balas “Singa Utara” atas hancurnya Pasukan Tartar. Barulah memasuki masa pemerintahan Tribuwanatunggadewi, seiring pula munculnya Gajah Mada ke panggung politik nasional, perlahan Majapahit bangkit.
Dengan kepemimpinan yang visioner ditopang pilar ekonomi yang kuat, armada Majapahit dibangun. Armada niaga diperbesar untuk menjamin perdagangan antarpulau/ antarnegara terus berkembang. Armada militer diperkuat untuk memastikan jalur-jalur perdagangan bebas gangguan dan Majapahit tetap aman. Demikianlah seiring perjalanan waktu, Majapahit makin besar dan kuat. Namun demikian konstelasi geografis Nusantara yang terdiri dari ribuan pulau masih “terserak”.
Hingga tiba saat Gajah Mada mengucap sumpahnya yang menggemparkan, yaitu “Sumpah Amukti Palapa” pada sesi pelantikannya sebagai Patih Amangku Bumi tahun 1336. Konon bumi bergetar dan langit bergermuruh ketika Gajah Mada mengucapkan sumpahnya di hadapan sang rani di panangkilan. Sejak itu kebangkitan Majapahit tak terbendung. Pada masa kejayaannya, wilayah Majapahit terbentang hampir seluruh Asia Tenggara. Indochina yang sejak akhir Singasari dirancang menjadi daerah pengaruh (vassal area) – semacam negara satelit – dipertahankan sebagai “buffer zone” untuk meredam agresivitas “Singa Utara”.
Kepergian Gajah Mada tahun 1364 membuat Majapahit bak singa ompong. Majapahit rapuh dan berangsur-angsur redup. Intrik dan pergolakan kembali marak. Terparah Perang Paregreg yang bukan saja memudarkan aura kebesaran tetapi juga merontokkan sendi-sendi kehidupan Majapahit. Mulailah berbagai anasir asing masuk. “Singa Barat” dengan ekspedisi politiknya berlabel ajaran baru. Jawa menjadi target utama karena Jawalah center of gravity Nusantara. Sementara “Nan Yang Connection” atau poros Champa – Palembang – Tuban – Sambas – Manila dikamuflase oleh “Singa Utara” mirip safari budaya. Tahun 1478 Majapahit pun tamat. Sirna ilang kertaning bumi. Majapahit lenyap bagai ditelan bumi. Habis terang datanglah gelap. Tamu-tamu lain yang tak diundang pun silih berganti datang: Portugis (1511), Spanyol (1521), Inggris (1579), Belanda (1596), Jepang (1942). Bukti, hancurnya Majapahit dampaknya luar biasa.
“Bhinneka Tunggal Ika” vs “Architecs of Deception”
Pada masa Hayam Wuruk hidup seorang maharesi bernama Mpu Wiranatha atau Mpu Tantular VI. Dalam bahasa Sansekerta “Tantular” artinya “tidak tergoyahkan” atau “teguh pada pendirian”. Mahakaryanya yang terkenal ialah Kakawin Sutasoma yang dalam pupuh 139 bait 5 tertulis sesanti “Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”. Artinya “Beraneka ragam tetapi satu jua, tiada darma yang mendua”.
Sesuai konteks zaman waktu itu, penekanan pupuh 139 bait 5 lebih ditujukan pada tema kerukunan, yaitu kerukunan antarumat beragama: Siwa (Hindu) dan Jina (Buddha). Dua agama yang banyak dianut masyarakat Majapahit kala itu. Kerukunan untuk sama-sama melakukan darma. Karena kerukunan saja tanpa darma tidak ada gunanya. Darma yang ditujukan hanya demi kagungan Majapahit. Bukan yang lain alias mendua. Semangat kerukunan dilandasi tujuan mulia dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata itulah yang menjadi pilar utama persatuan dan mengantar Majapahit mencapai puncak kejayaan. Hanya dalam waktu kurang dari 75 tahun Majapahit telah mencapai status negara adidaya pada zamannya.
Sekian ratus tahun menghilang, tiba-tiba “Bhinneka tunggal ika” muncul kembali di ruang Sidang I BPUPKI tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945. Adalah Muhammad Yamin tokoh pertama yang mengusulkan sesanti peninggalan leluhur tersebut sebagai semboyan negara. Menurut sang penulis buku “Gajah Mada: Pahlawan persatuan Nusantara” itu sesanti tersebut telah berhasil menyatukan Majapahit sehingga menjadi negara besar, kuat, dan disegani. Dalam perjalanannya Soekarno membubuhkan semboyan tersebut dalam pita burung Garuda sebagai lambang negara. Dengan kata lain, sesanti “Bhinneka tunggal ika” hingga kini masih diugemi (baca: dipercaya dan dipatuhi).
Pertanyaannya, kenapa “Bhinneka tunggal ika” seperti tidak seampuh ketika itu? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, jawaban yang tidak terlalu serius karena semboyan tersebut tidak ditulis lengkap alias tanpa “Tan hana dharma mangrwa“. Padahal justru dalam frasa itulah terkandung tujuan. Bahwa darma ditujukan hanya demi negara. Bukan yang lain. Tidak mendua. Kedua, karena tantangan hidup pada masa itu tidak seberat dan sekompleks hari ini 600 tahun kemudian. Keluarnya pupuh 139 bait 5 tidak bisa dilepaskan dari situasi Majapahit yang hubungan antarumat beragamanya mengalami disharmoni sehingga masyarakat lupa akan darma atau kewajibannya kepada negara.
Jawaban ketiga, karena faktor eksternal di mana para aktor, cara main, dan agendanya telah sekilas diuraikan di awal tulisan. Jüri Lina dalam bukunya “Architects of Deception” mengulas fenomena ini dari sudut berbeda. Penulis kelahiran Estonia tersebut mengatakan bahwa untuk menguasai suatu negara tidak selalu harus dengan sanksi ekonomi, invasi militer, atau cara-cara konvensional lainnya. Untuk menghancurkan, menjajah, atau sekadar melemahkan suatu negara menurut penulis eks buronan KGB tersebut cukup dengan melakukan tiga hal sederhana: (a) Kaburkan sejarahnya; (b) Hancurkan situs, artefak, dan atau bukti-bukti pendukungnya; (c) Putuskan hubungan atau ikatannya dengan leluhur.
Lima Warisan Agung Yang Terlupakan
“Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang”. Demikianlah sebagai kerajaan besar dengan nama besar, pascakehancurannya tahun 1478 Majapahit meninggalkan warisan yang tak ternilai. Setidaknya lima warisan agung bendawi (tangible) dan nonbendawi (intangible) ditinggalkan Majapahit untuk anak cucunya yang kini menamakan dirinya bangsa Indonesia.
a. “Rumah besar” bernama Indonesia. Pada masa kejayaannya, wilayah Majapahit mencakup bentangan wilayah yang sangat luas. Jauh lebih luas dari NKRI sekarang. Menurut Nagarakretagama pupuh 13 dan 14, batas utara Majapahit ialah Semenanjung Malaya dan timur Kepulauan Ambon. Sementara Semenanjung Indochina – Myanmar, Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos – menurut pupuh 15 berstatus daerah pengaruh (vassal area). Papua yang sejak abad ke-8 dikenal dengan nama Janggi, seiring surutnya Sriwijaya abad ke-12, kontrol sepenuhnya beralih ke Majapahit.
b. Sang Merah Putih. Bendera nasional berwarna merah dan putih yang kita gunakan sekarang pada zaman Majapahit disebut bendera “Gula Klapa” (Jw: Gulo Klopo). Warna “Merah-Putih” atau “Tés Bang–Tés Putih” makna lain dari “Lingga-Yoni” adalah simbol unsur maskulin dan feminin di alam semesta. Maskulin menggambarkan sifat tatag (berani/ tegas), feminin mencerminkan sifat welas asih (suci/ bijak). Dalam filsafat Jawa kuno, proses bertemunya dua unsur ilahiah cikal bakal terciptanya “Jagat Agung” dan “Jagat Alit” tersebut merupakan ajaran tertua. Jauh sebelum agama-agama yang kita kenal sekarang lahir dan merambah bumi Nusantara. Itulah sebabnya panji-panji kerajaan pra-Majapahit, seperti Singasari dan Kediri juga menggunakan corak yang sama.
c. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika“. Seperti telah dijelaskan, sesanti “Bhinneka Tunggal Ika” atau lengkapnya “Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” yang kini menjadi semboyan negara ditulis pada masa Hayam Wuruk. Penekanan utama pada masa itu ialah terciptanya kerukunan antarumat beragama: Hindu-Buddha. Dengan semangat yang sama, kini cakupannya diperluas. Bukan kerukunan antarumat beragama saja tetapi juga kerukunan masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang beraneka suku, ras, dan antargolongan (SARA). Kerukunan nasional berbasis nilai-nilai luhur warisan Majapahit inilah yang menjadi fondasi sekaligus perekat persatuan.
d. Lencana Perang. Sama dengan armada Majapahit, setiap KRI juga dilengkapi bendera “Getih Getah Samudra” atau Lencana Perang, bendera dengan corak kombinasi lima setrip warna merah dan empat setrip warna putih. Lima setrip warna merah konon menggambarkan armada Majapahit waktu itu yang tergelar di empat penjuru mata angin dan satu di inti pusaran, yaitu Laut China Selatan (utara), Laut Banda-Seram-Arafuru (timur), Samudra Hindia selatan Jawa (selatan), Samudra Hindia barat Sumatra (barat), dan Laut Jawa (pusat). Entah kebetulan atau tidak bendera yang sama juga digunakan Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy). Bedanya, di negeri Paman Sam setrip merah di sana berjumlah tujuh. Demikian pula armada lautnya.
e. Nama/ istilah. Tidak sedikit berbagai aspek kehidupan Majapahit, mulai urusan pemerintahan, angkatan perang, hukum, pendidikan hingga hal-hal yang bersifat tradisi masih dilestarikan. Selain memberi sentuhan keunikan, kebanggaan, dan motivasi, penggunaan berbagai nama/ istilah Majapahit juga dinilai dapat mengobati kerinduan akan karya-karya agung tempo dulu. Bagaimanapun glorifikasi kejayaan masa lalu dibutuhkan agar bangsa ini lebih percaya diri menatap masa depan. Contoh nama/ istilah yang masih digunakan, antara lain “Yatnanggegwani Pancasyiila Kertasangskarbhisekaka Krama” dari Nagarakretagama dan “Pancasila Krama” dari Sutasoma (Pancasila), Adhyaksa (Kejaksaan), Dharmaputra (Kostrad), Jalamangkara (Marinir), Bhayangkara (Polri), dan masih banyak lagi.
Tidak diragukan betapa tak ternilai warisan leluhur yang ditinggalkan. Sayang Majapahit kini terlupakan.
Mencegah Tragedi Terulang
Konstelasi Nusantara prakemerdekaan terdiri dari puluhan hingga ratusan kerajaan. Tetapi berdasar luasnya wilayah dan besarnya pengaruh, menurut Muhammad Yamin hanya Sriwijaya dan Majapahit yang memenuhi kriteria kerajaan atau negara nasional. Dengan demikian maka periodisasi negara Nusantara terbagi tiga, yaitu Negara Nusantara I (Sriwijaya), Negara Nusantara II (Majapahit), Negara Nusantara III (NKRI). Korelasi dan kesinambungan sejarah Nusantara ini penting sehingga sebagai bangsa kita memiliki keyakinan teguh tentang siapa sejatinya kita, dari mana kita kemarin, sampai di mana hari ini, dan ke mana esok menuju.
Dalam bukunya “The Rise and Fall of the Great Powers” (1987), Paul M. Kennedy secara gamblang mengurai betapa kompetisi negara-negara adidaya selama lima abad sejak tahun 1500 berpengaruh besar pada pasang surut mereka di kancah global. Contoh Kekaisaran Ottoman, Mughal (Afghanistan), dan China Ming. Tidak ketinggalan ramalan masa depan Uni Soviet, Amerika Serikat, dan China. Seperti teori Hubungan Internasional atau grand strategy pada umumnya, sejarawan asal Inggris itu juga menggunakan instrumen politik-ekonomi-militer dalam analisisnya. Berbeda dengan studi kasus (case study) yang lebih menitikberatkan faktor intrinsik (baca: jati diri), seperti kepemimpinan, karakter atau perilaku untuk mengungkap sebab musabab gagalnya suatu misi atau runtuhnya suatu organisasi/ negara.
Sebagai pewaris DNA bangsa Nusantara, kita tentu sangat prihatin dengan runtuhnya Majapahit yang demikian agung. Terlebih betapa tak ternilai legasi yang ditinggalkan. Di sinilah penelitian atau kajian yang komprehensif-integral-holistik untuk mengungkap misteri runtuhnya Majapahit menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Kenapa? Agar tragedi serupa tidak terulang. Kajian bisa dilakukan dengan metode Paul M. Kennedy tersebut di atas. Selain itu, kajian juga bisa dilakukan dengan model studi kasus untuk menggali informasi lebih detail apa yang sebenarnya terjadi. Kombinasi keduanya sangat direkomendasikan untuk memastikan hasil kajian lebih berbobot dan kredibel. Negara, termasuk di dalamnya dunia Perguruan Tinggi perlu mengambil inisiatif terealisasinya terobosan besar ini.
*) Tentang penulis: Purnawirawan Pati TNI/ Ketua Dewan Penasihat “Madyantara Ring Majapahit”/ Anggota IKAL Strategic Center/Alumnus Sesko TNI 2003/Alumnus US Naval War College 2009/Alumnus GCMC US Eurocom, Germany 2011/Alumnus PPSA XX/2015 Lemhannas RI.